Tantangan Dokter di Pedalaman Papua
http://www.srinadifm.com/2017/03/tantangan-dokter-di-pedalaman-papua.html
Srinadi 99,7 FM | Radio Bali - Papua masih menjadi lokasi empuk penyebaran sejumlah penyakit berbahaya seperti malaria, tuberkulosis (TB), Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), hingga HIV/AIDS.
Toni Kustolani, dokter dari Internasional SOS yang bertugas sebagai koordinator pelaksana Rumah Sakit (RS) Wa Banti, Tembagapura, menyatakan, penanganan masalah kesehatan di pedalaman
Papua tidak semudah wilayah Indonesia lainnya.
Toni menyebut, dibutuhkan kesabaran ekstra dan kerja keras mengatasi masalah kesehatan
di wilayah timur Indonesia ini. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan menjadi hal utama.
Pola hidup tradisional yang dibawa turun temurun, seperti jarang mandi, tidak pernah cuci tangan sebelum makan, dan tinggal dalam honai, rumah tradisional, dengan jumlah anggota
keluarga yang banyak, menjadi penyebab mengapa sejumlah penyakit berbahaya tersebut mudah menyerang dan berkembang.
“Dulu seringkali kita harus mandikan dulu pasien sebelum kita lakukan pengobatan,” kata dia.
Kondisi lain, sampai saat ini banyak warga yang tinggal di pegunungan lebih memilih berobat dengan pengobatan lokal seperti dukun yang dari sisi medis tidak terjamin kesehatannya. Biasanya, mereka baru mau berobat ke rumah sakit kalau kondisinya sudah parah.
“Pengobatan versi dukun itu kadang aneh. Yang luka di mana dan yang diobati kadang tidak
nyambung. Misalnya, ada luka di dada yang dibedah atau tepatnya disayat dengan silet justru di bagian lain,” kata Toni.
Kondisi ini diperparah dengan alat yang digunakan tidak steril karena telah digunakan beberapa kali. Akibatnya penyebaran virus penyakit akan semakin mudah.
“Di sinilah tantangannya. Tidak gampang merubah hal itu karena itu sudah jadi perilaku, Butuh waktu yang lama,” ucap dia.
Milka Tiandra, dokter kesehatan masyarakat di RS Wa Banti menyatakan, sebenarnya sudah mulai ada kemajuan perilaku warga untuk hidup sehat.
Sejak 2006, sudah tidak ada lagi warga yang harus dimandiin dulu sebelum dilakukan pengobatan. Warga juga mulai terbiasa untuk cuci tangan sebelum makan.
“Kuncinya adalah sosialiasi berulang-ulang dan pendampingan terus menerus,” kata dia.
Pembentukan kader kesehatan dengan melibatkan warga setempat jadi salah satu upaya
untuk menekan angka sakit di wilayah Papua pedalaman.
“Kita sekarang sudah ada puluhan kader sehat di sejumlah kampong-kampung,” jelas Milka.
Rumah Sakit (RS) Wa Banti sendiri merupakan salah satu RS yang pendiriannya diinisiasi oleh PT Freeport. RS ini berada sekitar 6 kilometer dari Kota Tembagapura atau sekitar 40 kilometer dari Kota Timika.
Meski berada di pedalaman, RS Wa Banti yang masuk kategori rumah sakit tipe D, mempunyai sejumlah sarana dan prasarana yang cukup memadai. Dengan dukungan tiga dokter klinis dan satu dokter kesehatan masyarakat serta 19 perawat, rumah sakit ini bisa melayani 500-an warga Wa Banti dan sekitarnya seperti, Kampung Opitawa, Takagra, Pertanian dan Kimbeli.
Beberapa fasilitas yang tersedia di RS Wa Banti di antaranya ruang isolasi tuberkulosis (TB) yang terdiri dari 8 tempat tidur, ruang makan, genset, dan pemeriksaan USG dan persalinan. Selain itu juga ada 60 bed untuk pasien rawat inap.
Untuk kasus gawat janin atau caesar dirujuk ke RS Tembagapura menggunakan helikopter. Untuk kasus rawat jalan didominasi Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), diare, malaria, muskuloskeletal (gangguan fungsi sendi, ligamen, otot, saraf dan tendon, serta tulang belakang, dan kesehatan gigi). Sementara, kasus rawat inap didominasi radang paru dan diare.
(Liputan6)