'Reklamasi' Sampah Jakarta dan Dilema Kawasan Mangrove

'Reklamasi' Sampah Jakarta dan Dilema Kawasan Mangrove

Srinadi 99,7 FM | Radio Bali   Tak tampak hamparan air laut di kawasan konservasi hutan bakau atau mangrove, Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. Dari permukaan, hanya ada rembesan kecil air di antara tumpukan luas botol dan plastik yang bercampur lumpur kering.

Tumpukan sampah itu memiliki ketebalan sekitar 2,5 meter. Ya, sampah-sampah itu sudah menjadi 'daratan' baru di perairan Teluk Jakarta, bak pulau reklamasi.

Di lokasi itu, orang bisa berlari-lari di atas lautan sampah tersebut. Padahal di bawahnya adalah air laut.


Kurang dari 500 meter dari lokasi konservasi, berdiri pemukiman masyarakat nelayan. Tak sedikit yang sudah tinggal puluhan tahun di kawasan ini.
Tempat tinggal mereka terbuat dari kayu dengan model bangunan berbentuk rumah panggung. Tak beda engan lokasi kawasan hutan bakau, tumpukan sampah itu memenuhi kolong rumah-rumah itu.

Permukiman yang semula berdiri di atas laut sekilas seperti ada di daratan hasil reklamasi karena timbunan lumpur dan sampah.

Warjitno (63), warga setempat, mengaku tumpukan sampah itu bahkan laiknya pondasi rumah warga di wilayah itu. Menurutnya, jika sampah-sampah yang ada di kolong rumah panggung itu diangkut, bukan tidak mungkin pemukiman nelayan ini akan roboh. 

"Kalau diambilin sampahnya, ya bisa roboh [rumahnya]. Ini kan udah pada lapuk kayu, rumah kami semua ini ya disangga sampah," kata Warjitno, Senin 
Ayah dari tiga anak ini mengaku terbiasa tinggal di rumah yang berdiri di atas tumpukan sampah. Jikapun dibersihkan, sampah akan kembali ke kawasan itu karena arus laut.

Karena hidup di atas tumpukan sampah, Warjitno juga mengaku dimudahkan karena bisa membuang sampah sembarangan.

"Ya enak, kayak punya tong sampah besar saja. Tinggal buang saja ke kolong [rumah]," selorohnya.

Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup Ali Maulana Hakim mengatakan sampah-sampah yang ada di kolong pemukiman warga memang harus dibersihkan. Namun, pihaknya harus menghadapi dilema. Yakni, antara kebersihan dengan kemungkinan rumah-rumah panggung itu ambruk jika sampah-sampah itu dibersihkan.

"Memang, tapi ya kan bisa ambruk. Ini yang harus dipikirkan. Yang jelas soal sampah kami selalu bersihkan, kan ada yang patroli di laut juga," katanya.
Gubernur DKI Anies Baswedan, yang turut serta dalam aksi pembersihan kawasan konservasi hutan bakau, Jakarta Utara, enggan berkomentar banyak soal sampah di pemukiman nelayan itu.

"Nanti, sekarang fokus dulu bersihkan yang ini [kawasan hutan bakau]," kilahnya.

Pihak Pemprov DKI sendiri tengah melakukan pembersihan kawasan hutan bakau, yang tak jauh dari kawasan pemukiman nelayan itu, dalam tiga hari terakhir.

Suku Dinas Tata Air Kepulauan Seribu menyebut sudah ada sekitar 50 ton sampah yang diangkut dari lingkungan itu ke kawasan Pengelolaan Sampah Bantargebang. Rinciannya, hari pertama 19 ton, hari kedua 15 ton, dan hari ketiga 16 ton.
Dihubungi terpisah, Pengkampanye Urban dan Energi Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung berasumsi bahwa tumpukan sampah di Muara Angke ini terkait dengan pembangunan pulau-pulau reklamasi.

"Bisa jadi ini efek dari reklamasi di Pesisir Utara Jakarta," ucapnya.

Sebab, reklamasi berdampak pada perubahan pola air laut saat ombak mencapai pesisir.

"Anginnya berubah, air lautnya juga berubah, ini kan ada tambahan daratan. Tentu ada efeknya," kata dia. 
Terlepas dari asumsi itu, kata dia, tumpukan sampah yang sebagian besar berupa plastik ini sangat berbahaya. Sebab, itu menurunkan kualitas air dan merusak biota laut.

"Bahkan, sebenarnya berbahaya juga untuk mangrove. Kalau akarnya sampai terlilit sampah, mangrove akan mati," tandas Dwi.

















sumber: CNNIndonesia.com

Related

Indonesia 3489274818217863705

Post a Comment

emo-but-icon

item