AS Akan Mundur dari Kesepakatan Iklim Paris

AS Akan Mundur dari Kesepakatan Iklim Paris

Srinadi 99,7 FM | Radio Bali   Pemerintah Amerika Serikat memutuskan akan memulai proses pengunduran diri secara resmi dari Kesepakatan Iklim Paris. Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, pada Senin (4/11) kemarin.

"Hari ini AS akan memulai proses pengunduran diri dari Perjanjian Paris. Sesuai ketentuan perjanjian, AS akan mengajukan pemberitahuan resmi terkait pengunduran diri tersebut kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pengunduran diri tersebut akan mulai berlaku satu tahun sejak pengiriman pemberitahuan," kata Pompeo seperti dilansir CNN, Selasa (5/11).

Proses ini dilakukan setelah Presiden Donald Trump memutuskan AS keluar dari perjanjian tersebut pada 2017 lalu. Dia juga menggulirkan kebijakan pembatasan energi, salah satunya Clean Power Plan, yang menjadi prioritas utamanya.


Kepala Staf Gedung Putih, Mick Mulvaney, menuturkan bahwa pembahasan perubahan iklim tidak akan menjadi agenda dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 pada tahun depan. Apalagi Trump absen dalam KTT Aksi Iklim PBB pada September lalu.
Keputusan itu menunjukkan AS tidak akan berperan di dalam penyelesaian krisis perubahan iklim, walaupun dampak buruk dari perubahan iklim sudah jelas.

Meski menolak berpartisipasi dalam Perjanjian Paris, Pompeo mengatakan AS akan tetap menawarkan solusi yang pragmatis dan realistis berdasarkan hasil survei terkait inovasi dan pasar bebas dari seluruh dunia.

"Dalam diskusi iklim internasional, kami akan tetap menawarkan model [solusi] yang pragmatis dan realistis berdasarkan hasil survei terkait inovasi dan pasar bebas berdasarkan catatan [dari survei] seluruh dunia untuk kemakmuran yang lebih besar, emisi yang berkurang dan sumber energi yang lebih aman," ujar Pompeo.

Di sisi lain, para kritikus menganggap bahwa rencana AS hengkang dari sebuah perjanjian yang pernah mereka rundingkan akan merusak posisi negara tersebut di kancah dunia.
"Kredibilitas kita sedang berada di posisi terendah saat ini," ujar anggota Lembaga Sumber Daya Dunia sekaligus mantan pejabat kementerian luar negeri, Andrew Light.

Berdasarkan kerangka perjanjian Paris, Senin kemarin merupakan waktu paling awal bagi pemerintah AS untuk memberi tahu PBB terkait pengunduran diri mereka. Namun, proses tersebut tidak dapat diselesaikan hingga satu tahun ke depan, tepatnya pada 4 November 2020, atau satu hari setelah pemilihan presiden 2020.

Trump sebelumnya pernah mengecam Perjanjian Paris dengan mengklaim bahwa perjanjian itu menyulitkan rakyat AS dan menguntungkan perusahaan luar negeri. Namun, bagi para pendukung perjanjian tersebut, mundurnya AS dari Perjanjian Paris berarti akan ada kesempatan di bidang ekonomi yang hilang bagi perusahaan AS.

Hal itu diperkuat dengan laporan Korporasi Keuangan Internasional dari Kelompok Bank Dunia yang mengungkapkan bahwa Perjanjian Paris, perjanjian untuk mengurangi emisi agar membatasi kenaikan suhu jangka panjang, dapat membuka peluang investasi pada pasar yang sedang berkembang sebesar US$ 23 triliun (sekitar Rp 322,3 kuadtriliun) pada 2030.

Para kritikus menuturkan dengan mundurnya AS dari industri tersebut membuat para pesaing bisnis AS akan terjun ke dalamnya.

Isu mengatasi perubahan iklim telah menjadi problem yang paling populer digaungkan dalam berbagai kampanye para calon presiden dari Partai Demokrat.
Selain itu, pengumuman AS terkait perjanjian itu juga bertepatan seiring dengan ketidakcocokan antara kebijakan iklim Trump dengan opini publik yang beredar. Yakni ketika sebagian besar masyarakat mengkhawatirkan pemanasan global.

Sebuah survei yang dilakukan Program Komunikasi Perubahan Iklim Universitas Yale pada awal tahun ini menunjukkan tujuh dari 10 warga AS berpikir bahwa pemanasan global sedang terjadi. Kemudian setidaknya enam dari 10 orang khawatir akan adanya kejadian tersebut. 























sumber : CNNIndonesia.com

Related

Dunia 1628386753719747792

Post a Comment

emo-but-icon

item