Binatang Turun Gunung, Tanaman di Besakih Mengering
http://www.srinadifm.com/2017/12/binatang-turun-gunung-tanaman-di.html
Srinadi 99,7 FM | Radio Bali - Binatang di hutan Gunung Agung, terutama monyet, mulai turun hingga ke areal parkir bawah Pura Pasar Agung di Banjar Sogra, Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Karangasem.
Sementara tanaman di kawasan Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem dan sebagian di wilayah KRB III, mulai ‘terbakar’ akibat terpapar abu vulkanik, sejak Sabtu (25/11). Tanaman yang terbakar dan sebagian daunnya layu, dilarang digunakan untuk pakan ternak, sebab mengandung racun campuran gas CO, H2S, dan SO2. Sementara seluruh palinggih di Pura Besakih, aman dari ancaman kebakaran.
Sekretaris Pasametonan Jagabaya (Pesebaya) Gunung Agung Karangasem yang juga Humas Pangempon Pura Pasar Agung I Wayan Suara, mengungkapkan perihal binatang yang turun gunung itu usai melakukan pemantauan bersama rombongan Kapolda Bali Irjen Pol Petrus R Golose, di Banjar Sogra, Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Jumat (1/12). Suara mengatakan, monyet-monyet bergelayutan di dahan ranting-ranting pohon di parkir bawah dekat bangunan embung.
“Suara monyet terdengar ribut, karena kelaparan tidak lagi tersedia makanan. Sebab, tanaman semuanya telah mati akibat hujan abu yang cukup tebal. Di samping itu binatang turun dari hutan Gunung Agung karena tak kuat mencium bau belerang,” jelas Suara.
Tetapi berdasarkan pantauannya, binatang tidak sampai turun ke kampung-kampung, masih di wilayah sekitar Gunung Agung bagian bawah. Di samping itu anjing-anjing kampung ditemukan banyak mati di KRB III Desa Sebudi, Kecamatan Selat dan sekitarnya, karena kelaparan ditinggal pemiliknya. Sebab, selama ini tidak ada yang mengevakuasi anjing, hanya prioritas mengevakuasi sapi, kambing, dan ternak berharga lainnya.
Sementara Kepaal Badan Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM Ir Kasbani MCc, di ruang kerjanya Pos Pengamatan Gunung Api Agung, Banjar Dangin Pasar, Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Karangasem, Jumat kemarin, menyebutkan tanaman yang mati dan sebagian daunnya mulai layu, akibat terpapar hujan abu vulkanik cukup tebal dan panas. Apalagi di Desa Besakih yang masuk KRB III, terpaut jarak sekitar 4 kilometer dari puncak kawah Gunung Agung. Sehingga lontaran abu panas jatuhnya sangat dekat, langsung menimpa tanaman.
Bukan hanya panas, lanjut Kasbani, abu vulkanik juga mengandung racun kombinasi gas CO, Hs2, SO2, dan S102. Jika diteliti melalui mikroskop, partikel-partikelnya terlihat runcing-runcing. Jika debu halus itu mengenai mata maka jadi perih, menyentuh kulit jadi gatal, dan jika terhirup hidung bisa menimbulkan sakit ISPA (infeksi pernapasan atas). “Makanya tanaman layu dan sebagian terbakar. Sebaiknya tidak digunakan untuk pakan ternak, nanti berbahaya, ternak bisa mati,” ujar Kasbani.
Pantauan di sekitar Pura Besakih, seluruh tanaman layu dan sebagian telah mati terbakar. Desa Besakih yang mewilayahi 11 banjar, 9 banjar di antaranya masuk wilayah KRB III. Tetapi tanaman di 11 banjar tersebut terpapar abu vulkanik mengakibatkan tanaman mati dan layu. Ke-11 banjar itu adalah Banjar Temukus, Banjar Kiduling Kreteg, Banjar Kesimpar, Banjar Besakih Kawan, Banjar Besakih Kangin, Banjar Batang, Banjar Palak, Banjar Angsoka, Banjar Batumadeg, Banjar Kunyit, dan Banjar Kedundung.
Jro Mangku Mentik, pamangku dari Banjar Kedundung, Desa Besakih mengatakan, abu panas dan tebal mengguyur sejak Sabtu (25/11). “Abunya tebal mengakibatkan semua tanaman di sini mati,” ujar Mangku Mentik. Perbekel Dukuh, Kecamatan Kubu, I Gede Sumiarsa juga melaporkan akibat hujan abu panas, tanaman di desanya mati.
Kepala Bidang Mitigasi PVMBG I Gede Suantika memperkirakan sepertiga kawah Gunung Agung dengan luas diameter 900 meter dan kedalaman 200 meter sudah terisi material lava vulkanik. “Ini kami hitung berdasarkan hasil pemantauan citra satelit Himawari data perekaman seismik, deformasi, dan geokimia,” kata Suantika seperti dikutip Antara, Jumat kemarin.
Dijelaskannya, terisinya lava di lantai kawah Gunung Agung karena adanya dorongan magma yang terus keluar, sehingga sering terlihat cahaya merah (glow) yang terpancar dari asap yang keluar dari gunung setinggi 3.142 mdpl. “Ini juga mengindikasikan magma di kawah masih sangat panas,” ujarnya.
Hingga saat ini, pihaknya masih merekam aktivitas gempa vulkanik yang mengindikasikan laju lava yang rata-rata pergerakannya masih stabil. “Saat ini kondisi gunung masih dalam fase kritis,” tegas Suantika.
Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunungapi Wilayah Timur PVMBG Devy Kamil Syahbana memaparkan, deformasi atau penggelembungan Gunung Agung mengalami pergerakan berupa mengembang dan mengempis, karena lava sudah di permukaan kawah.
“Karena lava sudah ada di permukaan, dan kami amati saat ini adalah fluktuasi inflasi dan deflasi Gunung Agung. Jadi sebelum erupsi terlihat inflasi (mengembang) dan saat erupsi terjadi dia kembali deflasi (mengerut),” ujarnya, Jumat kemarin seperti dikutip Antara.
Ia menjelaskan tentang saat terjadinya pengumpulan tenaga untuk pressure build up karena adanya lava di permukaan kawan. Gunung Agung kemudian mengalami inflasi ditandai keluarnya rilis gas dan asap. Setelah keluarnya rilis gas itu, perut Gunung Agung menjadi deflasi.
Pihaknya mengingatkan kembali bahwa Gunung Agung sebelumnya sempat mengalami inflasi sebesar 6 centimeter saat periode September hingga Oktober 2017. Hal itu, artinya setelah proses penggelembungan tersebut belum kembali ke posisi awalnya dan apabila magma tetap ada di atas, maka belum terjadi penurunan deformasi.
Ia mengatakan tentang belum terekamnya tremor menerus. Saat ini, aktivitas vulkanik masih terekam yang mengindikasikan adanya pergerakan magma di dasar kawah. Secara visual, teramati asap putih kelabu dengan ketinggian 1.500 hingga 2.000 meter di atas puncak.
“Kami tidak berani mengambil kesimpulan aktivitas Gunung Agung sudah menurun hanya dilihat dari satu data satu sampai dua hari. Nnamun perlu diamati bagaimana ‘sipen’ gunung ini sejak awal seperti pada September dan Oktober banyak terjadi gempa hingga 1.000 kali,” katanya.
(NusaBali)