Cerita Hantu Sungai, Nasib Nikmah, dan Lahirnya Batik Asli Riau
http://www.srinadifm.com/2017/12/cerita-hantu-sungai-nasib-nikmah-dan.html
Srinadi 99,7 FM | Radio Bali - Sekitar dua belas tahun yang lalu, cerita hantu sungai masih menakut-nakuti masyarakat sekitar Kampar, Pelalawan, Riau.
Masyarakat tidak bisa menerka betul bentuknya, kecuali ukuran dan kekuatannya. Namun, mereka memanggilnya " Bono". Tingginya sekitar tiga hingga empat kali pria dewasa.
Mitos ini pun makin menjadi setelah "Bono" pada 2005 dianggap memakan korban belasan orang karena kapal yang mereka tumpangi terbalik.
Namun, kisah itu akhirnya berubah seratus delapan puluh derajat manakala sejumlah wisatawan asing mendapati bahwa "Bono" sebenarnya adalah ombak langka di dunia yang bisa dipakai berselancar.
Alih-alih, ombak tinggi hasil pertemuan arus di semenanjung Sungai Kampar ini dimanfaatkan pemerintah setempat sebagai salah satu keunikan Riau.
"Bono" pun lantas diabadikan dalam bentuk cetak dan lukis lilin di kain mori. Dari sinilah, selayaknya di Jawa, provinsi di Sumatera ini pun akhirnya punya batiknya sendiri.
"Namanya Batik Bono," ujar Nikmah, seorang ibu di Pelalawan yang lalu menyebut bahwa ia dan teman-temannya juga membuat batik khas motif akasia, timun suri, eukaliptus, di samping adanya batik lampung, Rabu (13/9/2017).
Karena terkenalnya "si hantu" yang dikolaborasikan dengan batik sebagai kekhasan Indonesia, pesanan batik motif "Bono" berdatangan tidak hanya dari Indonesia, tetapi juga Singapura, Malaysia, bahkan Brasil.
Di balik cerita batik "Bono" yang bisa dijual Rp 400.000 per potong itu pula, nasib Nikmah berubah setelah ibu beranak dua ini melepaskan pekerjaannya sebagai buruh harian.
Lahirnya batik Bono
Nikmah tersenyum dan mendekat usai kami melepas sepatu dan memasuki sebuah rumah panggung di tengah rerimbunan pohon dan susunan tanaman yang menjadi pagar.
Rumah panggung khas Sumatera bagian selatan itu dinamai Rumah Batik Andalan, dan terletak di Pangkalan Kerinci, Pelalawan, Riau.
Nikmah lalu duduk bersimpuh di tengah rekan-rekannya yang sedang memegang kain mori di dekat meja cap, ataupun di dekat meja tulis.
"Saya awalnya datang cuma lihat-lihat. Namun, karena niat ingin bisa, saya datang hampir tiap hari. Tidak terpikir akan dapat uang, tetapi malah digaji Ibu Siti Nurbaya," kata Nikmah menyebut mentornya, yang sekaligus merupakan pengelola Rumah Batik Andalan.
Nikmah awalnya datang dari Brebes, Jawa Tengah. Ia tinggal di Riau karena diajak suaminya pada tahun 2002. Mereka merintis kehidupan baru dengan menjaga kebun seseorang.
Dari sana, Nikmah turut mencari nafkah menjadi buruh harian yang kadang berupah Rp 40.000 sehari.
"Terus ada kawan tanya, 'Ibu kerja apa?' Ikut suami. 'Nanti kalau ada pelatihan dari RAPP (PT Riau Andalan Pulp and Papper), Ibu ikut ke rumah batik, ya.' Tetapi saya belum bisa. 'Enggak apa-apa, nanti lama-lama bisa'," ulang Nikmah soal awal mula pertemuannya dengan Siti Nurbaya yang lalu mendekatkannya pada membatik.
Kegiatan warga dalam membatik di Rumah Batik Andalan memang berangkat dari nol tanpa tersentuh kultur batik.
Inisiasi kemudian datang seorang kapolres yang istrinya memahami batik pada kisaran tahun 2000, dan didukung pembangunan rumah batik oleh RAPP, yang merupakan perusahaan pulp dan kertas di Riau.
Sekitar 60 orang dilatih dengan memanggil pembatik dari Yogyakarta. Namun, jumlah itu menyusut dan masih berproses lama karena proses pewarnaan yang belum sempurna, demikian juga pengecapan.
Bahkan, hasil awalnya pun nihil karena meniru batik dari Jawa.
"Batik Jawa kan padat. Masyarakat di sini kebetulan tidak suka kalau desainnya padat. Jadinya tidak laku," kata Siti Nurbaya yang semangatnya tumbuh setelah RAPP coba pesan baju batik dari kelompoknya sebanyak 100 potong.
Perubahan desain batik kemudian dilakukan. Mereka mulai paham bahwa warna kegemaran orang Riau adalah warna-warna yang cerah, seperti merah, kuning, dan hijau, sesuai warna kerajaannya.
"Kami juga harus punya ciri sendiri sampai akhirnya kami ketemu Si Bono, usul dari Bupati agar kami angkat ciri daerah kami," ujar Siti Nurbaya, yang bersuara keras dan pernah menjadi guru TK, madrasah, SD, dan aliah di Kabupaten Bengkalis.
Pola "Bono" lantas terwujud dari hasil sumbang banyak tangan para pembatik ini. Lambat laun, seiring itu pula, jari jemari mereka mulai lihai sampai akhirnya pesanan-pesanan partai besar berdatangan.
Satu di antaranya adalah permintaan pembuatan baju batik 1.500 potong yang akan khusus dipakai pada hari Jumat bagi karyawan RAPP.
Pesanan tersebut berdatangan, baik sebagai oleh-oleh tamu RAPP maupun memang menjadi seragam yang dijual di toko, bahkan juga media sosial seperti Instagram.
Di sisi lain, RAPP turut memelihara dan memberikan modal bagi rumah batik mereka ini.
Semuanya masuk dalam program pengembangan komunitas masyarakat atau community development (CD), tempat warga seperti Nikmah akhirnya bisa memperbaiki perekonomian keluarganya.
"Alhamdulillah, dulu tinggal menumpang di gubuk, tempat suami kerja jaga kebun orang. Kini kerja setahun setengah (bikin batik) bisa beli kereta (sepeda motor) untuk antar jemput anak sekolah," ujar Nikmah.
"Sekarang juga sudah bangun rumah," tambahnya, lalu mengangguk dan tersenyum.
(Kompas.com)