Kisah Dimas Sulap Sampah Plastik jadi Bahan Bakar

Kisah Dimas Sulap Sampah Plastik jadi Bahan Bakar

Srinadi 99,7 FM | Radio Bali    Dimas Bagus Wijanarko (42) mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sablon di Jakarta itu hanya menggunakan alat cukup sederhana untuk menghasilkan karyanya.

Bahkan, penggagas kampanye Gerakan Tarik Plastik (Get Plastik) ini berencana melakukan perjalanan sejauh 1.200 kilometer dengan bahan bakar dari plastik dari Jakarta ke Bali.

Bertempat di kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung, Dimas memberi pelatihan bagaimana ia mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar pada Senin (21/5).
Dimas bersama komunitas Get Plastik lantas mempersiapkan mesin yang dibutuhkan. Peralatan yang dibawanya hanya serangkaian pipa yang terhubung dengan tabung vakum bertekanan tinggi. Tabung tersebut tersambung dengan gas elpiji yang akan berfungsi sebagai pemanas.

Tak lama, ia memasukkan segumpal sampah plastik yang telah disiapkan ke dalam tabung vakum. Tabung itu dipanaskan hingga mencapai 400 derajat celcius. Lima menit kemudian, tetesan-tetesan minyak murni keluar dari pipa setelah melewati jalur pendinginan.

Distilasi bertingkat itu kemudian mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar. Metode yang digunakan adalah pirolisis, yakni proses dekomposisi termokimia bahan organik melalui pemanasan tanpa menggunakan oksigen atau dengan kadar oksigen sedikit mungkin. 

Metode ini hanya menghasilkan residu berupa black carbon atau arang yang dapat dengan mudah terurai secara organik, serta gas propylene yang tidak berbahaya. Dimas memerlukan riset selama 4 tahun untuk menggunakan metode ini.
"Saya bukan akademisi, bukan teknisi, saya berbekal ilmu-ilmu yang saya baca dari artikel saja," kata Dimas.

Ia mengaku bukan pencipta alat ini. Metode pengubahan bahan plastik menjadi bahan bakar ini sudah ada sejak bertahun-tahun lalu.

"Saya hanya merakit kembali dan menggunakannya untuk mengampanyekan pengurangan sampah plastik," ungkapnya.

Gagasan membuat bahan bakar itu didasari fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Dalam satu tahun, ada 180 juta ton sampah plastik yang dibuang ke laut. Hal itu membuatnya resah.

"2014 saya mulai riset dan mengabdikan diri saya total untuk hal ini sampai detik ini," kata Dimas.

Ia mengatakan, ada banyak cara untuk mengolah sampah plastik. Namun menurutnya, metode ini cukup efektif untuk menghilangkan sampah yang paling sulit terurai itu.

"Plastik yang dibuat di Indonesia itu 80-85%-nya adalah minyak. Sisanya itu black carbon atau microplastik. Makanya proses penguraiannya lama karena sebagian besarnya minyak. Sementara itu fosil itu butuh waktu ratusan tahun untuk jadi minyak lagi," paparnya.
Dengan mengubahnya menjadi bahan bakar, ia beranggapan bahwa sampah ini akan bernilai ekonomi jika dilakukan penelitian lebih serius. Namun bagi Dimas, yang terpenting saat ini adalah mengurangi sampah itu agar tidak terus menumpuk.

"Kalau dibakar justru lebih berbahaya. Residunya jadi karbonmonoksida yang berbahaya, masuknya ke sampah B3," katanya.

Minyak yang dihasilkan dari hasil distilasi ini bisa berupa solar, premium, maupun minyak tanah. Kendati begitu, nilai oktan yang terdapat pada hasil distilasi ini belum sama dengan standar yang diberlakukan oleh Pertamina. 

"Ini nilai oktannya hanya 82, di bawah premium. Tapi bilangan oktan tidak mempengaruhi kinerja karena mesin yang saya pake 2 tak," tuturnya.

Usai mempraktekkan metode distilasi di Bandung, Dimas langsung bertolak ke Rajagaluh, Majalengka. Melewati 15 titik pemberhentian, Dimas dijadwalkan akan tiba di Bali pada 30 Juni 2018 nanti. 
























































sumber : CNNIndonesia.com

Related

Gaya Hidup 1422744816220819865

Post a Comment

emo-but-icon

item