Harga Minyak Menguat Tipis Dipicu Kegelisahan Investor

Harga Minyak Menguat Tipis Dipicu Kegelisahan Investor

Srinadi 99,7 FM | Radio Bali      Harga minyak dunia menguat tipis pada perdagangan Kamis (10/5), waktu Amerika Serikat (AS). Hal itu seiring kegelisahan investor terhadap potensi gangguan pada pasokan minyak mentah dari salah satu eksportir utama dunia, Iran.

Dilansir dari Reuters, Jumat (11/5), harga minyak mentah berjangka Brent naik US$0,26 atau 0,3 persen menjadi US$77,47 per barel. Selama sesi perdagangan berlangsung harga Brent sempat menyentuh US$78 per barel, tertinggi sejak November 2014.

Sementara, harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) naik US$0,22 menjadi US$71,36 per barel.


Selain potensi gangguan pasokan dari Iran, pasar juga khawatir terhadap penurunan lebih jauh produksi minyak mentah Venezuela dan kenaikan penarikan persediaan minyak mentah AS.

Bank of America menyatakan harga Brent dapat kembali ke level US$100 per barel tahun depan. Pemicunya berasal dari kolapsnya produksi minyak mentah Venezuela dan risiko dari melorotnya ekspor Iran. Bank asal Negeri Paman Sam ini juga mengerek proyeksi rata-rata harga Brent tahun ini menjadi US$70 dan tahun depan US$75.
Harga minyak berada di jalur kenaikan untuk empat pekan berturut-turut, kenaikan terpanjang untuk lebih dari satu dekade. Penguatan tersebut sebagian besar dipicu oleh kekhawatiran terhadap gangguan pasokan dari Iran yang memasok sekitar empat persen dari pasokan dunia dan mengekspor sekitar 450 ribu barel per hari (bph) ke Eropa dan sekitar 1,8 juta bph ke Asia. 
Analis memperkirakan penjualan minyak mentah ke Eropa kemungkinan akan berkurang sebagai konsekuensi dari pengenaan sanksi.

Selalu (8/11) lalu, pemerintah AS menyatakan telah berencana untuk mengenakan sanksi baru terhadap Iran setelah keluar dari perjanjian nuklir yang disepakati pada akhir 2015. Perjanjian itu membatasi aktivitas pengembangan nuklir Iran sebagai balasannya AS dan negara-negara di Eropa menghapus sanksi yang dikenakan.

Beberapa analis memiliki sedikit harapan bahwa pihak yang berlawanan dengan kebijakan AS bakal mengambil langkah untuk mencegah sanksi baru terhadap Iran dikenakan.

Sekutu dari negara-negara di Eropa telah menyatakan bahwa mereka tetap berkomitmen untuk menjaga perjanjiaan nuklir dengan Kanselir Jerman Angela Merkel menegaskan kembali dukungannya kemarin.

"Eropa dan China tidak akan melawan sanksi AS. Mereka akan menggerutu namun akan menerimanya. Tidak ada seorang pun yang secara realistis memilih Iran dibandingkan AS," ujar konsultan energi FGE.
Dalam catatannya, pendiri dan Kepala FGE Fereidun Fesharaki meyakini bahwa pembatasan ekspor Iran bakal ke level 1 juta barel per hari atau ke level yang berlaku pada sanksi sebelumnya.

"Seperti sebelumnya, kemungkinan akan memerlukan beberapa tahap pengurangan untuk mencapai level target (pembatasan ekspor)," ujar Fesharaki.

Bahkan tanpa gangguan pada aliran minyak Iran, neraca pasokan dan permintaan minyak mentah telah mengetat dengan stabil, khususnya di Asia, dengan eksportir utama Arab Saudi dan produsen nomor satu dunia Rusia telah memimpin upaya pembatasan pasokan sejak 2017. Pembatasan produksi dilakukan untuk mendongkrak harga.

Pada Rabu lalu, salah satu sumber dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menyatakan bahwa Arab Saudi siap untuk mengimbangi berapapun kekurangan pasokan namun Arab Saudi tidak akan bekerja sendiri untup menutup kekurangan yang terjadi.

Kendati demikian, empat sumber Reuters menyatakan OPEC tidak terburu-buru untuk memutuskan apakah akan memompa lebih banyak minyak untuk mengantisipasi turunnya ekspor dari Iran. Artinya, berapapun pasokan yang berkurang itu akan memakan beberapa waktu.
Ahli Strategi Petromatrix Olivier Jakob menilai efek sepenuhnya dari keluarnya AS dari kesepakatan nuklir terhadap aliran minyak dari Iran masih sulit untuk diperkirakan.

"Satu hal yang telah berubah dan saya pikir sebuah perkembangan baru adalah pemerintahan Gedung Putih yang mendorong Arab Saudi untuk melakukan sesuatu terhadap harga dan mengembalikan pasokan ke pasar untuk menjamin harga tidak naik. Sebelumnya Arab Saudi menjalankan kebijakannya sendiri," ujar Jakob.

Salah satu faktor yang sebagian bisa mengimbangi penurunan ekspor Iran adalah kenaikan produksi minyak AS.

Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) pada Selasa (8/11) lalu mengerek proyeksi bulanan produksi minyak AS menjadi 12 juta bph hingga akhir tahun depan. Badan milik pemerintah AS ini telah meningkatkan proyeksinya setiap bulan sejak Agustus 2017 lalu.

Jika proyeksi tersebut terbukti, AS bakal menjadi produsen minyak mentah terbesar di dunia, melampaui Rusia dan Arab Saudi.
































sumber : CNNIndonesia.com

Related

Berita Ekonomi 14845819307713359

Post a Comment

emo-but-icon

item