Perda Kawasan Tanpa Rokok Rugikan Petani Tembakau

Mengenal dan Mengendalikan Hama Tanaman Tembakau Memanfaatkan Teknologi Digital

Srinadi 99,7 FM | Radio Bali   Penerapan Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Indonesia dinilai akan merugikan petani tembakau serta pekerja di industri rokok dalam negeri.
Pakar Hukum Tata Negara, Margarito mengatakan, penerapan Perda ini tidak hanya akan memukul industri rokok, tetapi juga akan merugikan petani tembakau dan pekerja rokok yang jumlahnya jutaan orang.
"Kerugiannya bukan industri rokok kita yang terpukul, tapi bagaimana caranya menyelamatkan petani-petani dan pekerja kita yang jumlahnya jutaan orang," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (13/5/2019).
Apalagi Perda KTR seperti yang berlaku di Kota Bogor, lanjut dia, bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
"Dari sudut pandang hukum sebenarnya tidak cukup beralasan untuk mengesahkan kawasan tanpa rokok," ungkap dia.
Oleh sebab itu, kata Margarito, pemerintah daerah (Pemda) harus berhati-hati dalam menerapkan kebijakan ini. Menurut dia, perlu ada kajian mendalam terkait dampaknya dari Perda KTR terhadap petani dan pekerja industri rokok.
"Kita harus pastikan pemerintah berpihak pada rakyat, berpihak pada ekonomi kita, berpihak pada petani kita," tandas dia.
Petani tembakau menolak usulan penggabungan volume produksi rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Hal ini dinilai kurang tepat, sebab keduanya merupakan produk berbeda.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji mengatakan, petani tembakau menyayangkan adanya usulan tentang penggabungan produksi SPM dan SKM. Usulan tersebut dinilai tidak tepat karena SPM dan SKM merupakan produk hasil tembakau yang berbeda.
“SKM merupakan pengembangan produk Indonesia berlandasan kretek,” kata Agus, di Jakarta, Selasa (19/4/2019).
Dia menjelaskan, produk SKM sebagai penopang penyerap bahan baku lokal baik tembakau ataupun cengkeh. Penggabungan SPM dan SKM akan mematikan budidaya tembakau yang sudah turun menurun.
“Industri harus memperhatikan bagaimana petani lokal tetap bertani secara berkelanjutan tetap menanam tembakau,” tuturnya.
Dia menginginkan, pemerintah harus tetap memisahkan antara SPM dan SKM, baik dari volume produksinya maupun cukai tembakau.
Langkah terobosan yang paling tepat untuk melindungi produk hasil tembakau yang berbasiskan kretek, adalah perbedaan pengenaan cukai bagi produk non kretek harus lebih tinggi dibandingkan dengan produk kretek.
“Pemerintah harus berani tegas untuk membentengi produk kretek,” tegasnya.
Dia mengaku sepakat dan hormat, ketika pemerintah pada 2019 tidak menaikan cukai. Hal ini menjadi langkah baik sebagai bukti nyata keberpihakan terhadap IHT nasional dari hulu sampai hilir.
Namun ini dinilai belum cukup jika proteksi kretek nasional masih lemah, disparitas cukai belum jelas dan pengaturan importasi tembakau belum di lakukan secara tepat.
Selain itu, asosiasi melihat masih ada industri yang belum memenuhi kewajibanya sebagai penyerap bahan baku dengan baik.
“Persoalanya saat ini masih ada industri yang tidak melakukan pembelian di waktu musim panen,” tandasnya
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan menyiapkan regulasi baru tentang produk Industri Hasil Tembakau (IHT). Hal ini menyusul pengembangan produk tembakau alternatif yang dipanaskan dan tanpa asap.
‎Demikian disampaikan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di sela-sela acara silaturahim dengan para pekerja sigaret kretek tangan (SKT) di pusat fasilitas produksi PT HM Sampoerna Tbk di Surabaya, Jawa Timur.
“Pemerintah juga akan membahas itu untuk dikembangkan. Nantinya, tentu akan memitigasi dampak risiko merokok,” ujar dia di Jakarta, Selasa (2/4/2019).
Produk tembakau alternatif yang telah dikembangkan HM Sampoerna yaitu Iqos merupakan salah satu contoh dari penerapan revolusi industri 4.0. Dengan sistem tembakau yang dipanaskan, bukan dibakar diharapkan bisa berkontribusi dalam memitigasi risiko dan bahaya merokok.
"Kita harus apresiasi terhadap upaya ini,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Urusan Eksternal Sampoerna, Elvira Lianita menyatakan, induk perusahaan Sampoerna memang telah mengembangkan produk yang diberi nama Iqos. Saat ini, Iqos bahkan sudah dipasarkan di lebih dari 40 negara di Eropa dan Asia, termasuk Jepang dan Korea, namun memang belum dipasarkan di Indonesia.
‎"Perbedaannya terletak dari cara konsumsinya saja. Kalau rokok dibakar, sementara Iqos dipanaskan,” ungkap dia.
Ia melanjutkan, mengonsumsi produk Iqos berpotensi memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibanding mengonsumsi rokok. Pengembangan yang dilakukan memang bertujuan memitigasi risiko dan dampak kesehatan yang diakibatkan oleh rokok.
“Kalau dipanaskan, maka pembentukan zat-zat kimia yang berbahaya maupun berpotensi berbahaya, lebih kecil daripada dibakar. Itu perbedaan mendasarnya,” tandas dia.
























sumber : liputan6.com

Related

Berita Ekonomi 5826347076111697492

Post a Comment

emo-but-icon

item